Senin, 28 Februari 2011

Kelahiran Pancasila, Idiologi Pemersatu Bangsa.


>>Pancasila telah berusia 63 tahun
>>Masa depan Pancasila ditentukan kemampuan Bangsa Indonesia

Dengan gamblang menarik butir-butir Pancasila, di depan sidang Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia yang sedang memperbincangkan dasar Negara Republik Indonesia, hal ini dikatakan Presiden RI pertama, Ir Soekarno dalam sebuah pidatonya pada tanggal 1 Juni 1945 yang silam.
Pada hari Minggu 1 Juni 2008, Pancasila telah berusia 63 Tahun, sebuah usia yang dianggap belum dewasa bagi sebuah Ideologi, Pancasila adalah dasar Negara Republik Indonesia dengan berbagai Undang-undang dasar (UUD), hal ini menunjukkan bahwa Pancasila adalah dasar Negara yang telah menjadi Konsensus Nasional dan diterima oleh semua kelompok yang ada di Indonesia.
Maka Pancasila adala Ideologi pemersatu Bangsa yang menjadi modal bagi Bangsa Indonesia untuk bersatu sebagai sebuah bangsa yang menegakkan Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Melihat banyak masalah nyata yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia seperti Demokratisasi, krisis ekonomi dan penegakan hukum.
Ada baiknya agar dasar Negara tersebut, untuk sementara tidak diperdebatkan dan dibicarakan sampai semua persoalan yang dihadapi Bangsa Indonesia tersebut berhasil diselesaikan.
Masa depan Pancasila sangat ditentukan oleh kemampuan Bangsa Indonesia mengisi Pancasila dengan nilai-nilai yang berkembang didalam masyarakat Indonesia.
Kelima Sila yang ada dalam Pancasila harus dijabarkan secara jelas sehingga dapat diwujudkan menjadi lembaga politik yang akan dibentuk dalam sebuah system politik, system pemerintahan Pancasila.
Penjabaran dan konkretisasi Pancasila ini hanya bisa terjadi bila ada wacana public yang bebas yang memberikan kesempatan bagi siapa saja menyampaikan pendapatnya.
Pendapat yang beragam diharapkan akan menghasilkan butir-butir yang menjadi bagian dari Pancasila.
Penyeleksian terhadap butir-butir yang bermunculan diserahkan kepada proses sosial yakni, intrasi yang terjadi antara berbagai pihak yang akan menghasilkan kesepakatan-kesepakatan.


Kompas - Sastra multikultural tidak bisa dilepaskan dari kehidupan
berbangsa dan bernegara saat ini. Jika pemerintah memiliki good will
untuk mengelola dan memberikan dukungan terhadap pertumbuhannya,
sastra multikultural dapat berguna sebagai alat pemersatu bangsa.

Demikian diungkapkan sastrawan Budi Darma selaku pembicara dalam
seminar Pertemuan Sastrawan Nusantara (PSN) XIII, Selasa (28/9) di
Surabaya. "Negara yang kedatangan migran selalu menimbulkan masalah
budaya. Di situ muncul masalah krisis identitas karena adanya dominasi
dari para pendatang yang membawa ciri khas daerah mereka
masing-masing," ujarnya.

Ia mencontohkan seorang pengarang Amerika keturunan China bernama Amy
Tan, yang dari sejumlah karyanya selalu berujung pada "Aku adalah
orang China, tetapi benarkah aku orang China? Tidak benar, karena aku
adalah orang Amerika. Namun, benarkah aku orang Amerika? Ah tidak, aku
orang China".

Meskipun belum menjadi bagian penting dari sastra Indonesia, beberapa
karya sastra multikultural banyak bermunculan di dunia sastra
Indonesia. Contohnya adalah warna China dalam beberapa karya, seperti
novelet Bibi Giok (Zarra Zettira), novel Miss Lu (Naning Pranoto), dan
novelet Pai Yin (Lan Fang).

"Krisis identitas ini muncul sesuai dengan situasi politik. Ketika
situasi dan kondisi politik memanas, mau tidak mau, krisis identitas
yang awalnya tidak terasa temperaturnya menjadi melonjak," ujar Budi
Darma menambahkan.

Sastrawan Singapura Djamal Tukimin-yang juga menjadi pembicara dalam
seminar PSN tersebut-juga mengatakan, masalah multikulturalisme
berkembang menurut budaya masyarakatnya. "Di Singapura, ada cerpen
dengan watak China atau India, yang membawa falsafah hidup
masing-masing. Namun, karena pemerintah sangat mendukung, sastra itu
dapat berkembang baik," ungkapnya.

Menurut penilaian Djamal, krisis identitas dalam sastra Singapura
tidak sampai memanas seperti yang terjadi di Indonesia, misalnya.
Pemerintah sangat akomodatif sehingga multikulturalisme justru
memperkaya kesusastraan Singapura. "Asal ingat, tidak menyentuh
masalah agama dan secara politis tidak saling menghina antara satu
etnis dan etnis yang lainnya. Itu pantangan besar," papar Djamal.

Peran dan kebijakan pemerintah sangat signifikan bagi perkembangan
sastra multikultural. Ketika pemerintah mempunyai gairah politik untuk
mendukung sastra, terjadilah "sastra perkauman" seperti di Malaysia,
yang membawa sastra Malaysia berada pada kedudukan duduk sama rendah
dan berdiri sama tinggi.

Sebagai negara multikultural, imbuhnya, Indonesia mempunyai kesempatan
menumbuhkan sastra multikultural. Dengan campur tangan pemerintah yang
memiliki kesadaran akan identitas semacam itu, persatuan bangsa bukan
merupakan hal yang sulit dan huru-hara rasial seperti peristiwa Mei
1998 tidak terulang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar